Lembayung Senja

Sore itu, tak terasa tapi dapat dirasa ketika akhirnya kutiba di titik awal perjalanan pulang menuju hangatnya pelukan bunda. Kupijakkan kaki di bangunan Kertawangunan - Kuningan, tempat rehatnya para supir bis tuk menunggu para manusia yang dikejar waktu.

Sembari menunggu sang supir bis yang kan mengantarku ke tanah feodal berselimut kata istimewa, kunikmati lembayung senja bersama Kang Mumu, dua cangkir kopi, dan beberapa batang tembakau bakar. Saat senja, saat senja memanjakan diri kami. Seiring itu pula, pintu diskusi yang hangat terbuka lebar.

Lepaskanlah apa yang kau rasa

Jingga menyala warna langitnya
Saat senja, saat senja memanjakan kita
Duduk bersama diskusi rasa
Saat senja, saat senja bertukar cerita
Fourtwnty – Diskusi Senja

Diriku memang tak sepengalaman Kang Mumu dan Kang Mumu tak sepengalaman denganku. Namun setidaknya kami mencoba tuk tak menyalahkan keadaan. Namun setidaknya kami mendapatkan pembelajaran penting untuk selalu mencoba berjuang menerjang ketertindasan. Namun setidaknya kami berusaha untuk menjadi Paulo Freire bagi negeri ini. Selalu mencoba untuk meruncingkan bambu Pedagogy of the Oppressed.

Pelukan singkat dan jabat tangan erat mengakhiri perjalanan singkat 3 hariku di pelosok benih optimisme bangsa. Hanya kepalan tangan yang kutantangkan ke Gusti agar selalu mengabulkan doa hamba-Nya yang lemah tuk menumbuhkan benih optimisme dan usaha di pelosok surga ini.

*
Nafsu sang hujan untuk mencumbu diriku terhalang dinding silica yang berjalan sejalan dengan roda bis Damri. Alhasil membuat diriku terbangun dan tersadar untuk menikmati indahnya aspal hitam tol Cipali. Hamparan lukisan hijau padi usaha sang petani yang selalu diklaim milik Gusti, memijat jendela dunia untuk selalu ingat latar belakang hidup diriku. Jauh di belakang terdapat penyangga langit Cikuray yang terlihat samar.

Sang Surya tenggelam dalam cakrawala. Sang Langit masih mencucurkan air mata. Sang supir bis dengan senyum ramahnya menurunkanku di sebuah simpangan jalan yang ku tak tahu arahnya. Kata beliau ini yang paling dekat dengan Maleber. Diriku melanjutkan langkah ditemani cumbuan sang hujan. Kuhentikan langkah untuk sekadar memenuhi kodrat manusia hewan yang butuh makan. Panggilan menuju kemenangan membujukku untuk hadir ke rumah Tuhan. Namun apa daya, imanku luntur seraya lapar menggerogoti tubuh.

Tubuh kurus kering berbalut jaket merah, muka yang mulai menua, dan mata yang mulai menguning memanggil diriku yang setengah sadar. Senyum lebar puas tanpa malu memperlihatkan gigi yang mulai keropos karena tembakau (mungkin??). Jabatan antar tangan resmi memulai liburanku kali ini. Dibawanya diriku menikmati hujan yang dingin dan malam yang gelap. Sentuhan antar roda dan batu yang terjal selalu mengingatkanku agar tak melewatkan satu tetes pun rintik hujan. Hanya satu hal yang kulewatkan, sang waktu.

Ku memang tak pernah berharap ataupun meminta agar alam memberitahu kondisiku. Ataukah memang orang – orang pelosok mampu mencium aroma diriku yang sedang berjalan miring. Hanya kehangatan serta kenyamanan yang ada berupa kesederhanaan yang sudah seharusnya telah basi, namun tak bisa di kata – kata. Canda, tawa, maupun sedih bercampur jadi satu membalut kerinduan akan dunia yang sebenarnya.

Lembayung senja dari ufuk timur kulewatkan karena terlalu lama kunikmati waktu bersama sang malam. Selayak hari biasa, kupijakkan langkah pertama menuju sang janda tua yang kini ku tak tahu kabarnya. Bermandikan embun yang mulai menguap, kuharap akan ada peluk kecup mesra akan kerinduan yang berat. Diriku memang terlalu berharap lebih hingga akhirnya kecewa yang kutemui. Nihil, hampa, penyesalan, dan rasa salah yang akhirnya mnggerogoti.

Kini sang janda tua telah meninggalkan pelosok untuk usaha materi yang lebih baik. Ditinggalkannya si buah hati yang masih kecil untuk berjuang sendirian membedakan mana permen mana koin.

Ajarkan aku tuk menyelami peranmu
Tuk bisa bedakan
Mana tak peduli
Mana kebodohan
Atau mana perjuangan
Setahuku, Gusti mboten sare

Hal perjuangan terbalut kebodohan ketidakpedulian. Kupikir bedanya tipis. Semangat sajalah, akan indah pada waktunya. Hei Ardan, kata temanku yang di Gunma (Jepang), “you’re in your time zone!”. Ke sinilah, menarilah denganku.

Seiring sang surya berjalan, kulupa dunia. Bahagiaku teruncing pada semilirnya angin bukit yang perlahan turun menyapa diriku. Kunikmati hamparan sang dewi sri yang hijau damai memukau dipadu dengan birunya langit lintang. Cimenot memang bukan main. Paduan kisah curhatan ketindasan saung yang mulai terpagar, dengan teh koneng dan gudang garam memang tak terelakan. Kefasihan cerita mereka seakan terlatih sebelum bertemu diriku. Ya, aku seperjuangan tindasku.


Isap demi isap dihisap senang. Puncak demi puncak kenikmatan kulewati dengan desahan yang tak biasa. Namun, hal itu seraya berhenti menjadi pukulan telak ketika kulihat Dzikri dan mantan cucuku berhenti hanya tuk sekedar menyapa diriku yang kabarnya sedang ada di Cipakem. Seperti kilat yang menyambar di siang bolong, AKU BUTA NAMUN BERETIKA. Ku khianati batang tembakauku, kututupi dengan lempar senyum ke mereka.
Diriku memang manusia bodoh. Mengidolakan Paulo Freire namun selalu menindas. Kutakut mereka akan berpikir hanya orang – orang yang telah seperti aku, Kang Mumu, Kang Agung, Kang Rashdi, Kang Yunus, yang boleh membakar batangan tembakau. Setelah tumbuh dewasa, akan menjadi salahku ketika mereka mulai menikmati tembakau bakar. Apa bedanya aku dengan penindas lainnya? Kaum tertindas hanya bercita – cita untuk sukses dan menjadi kaum penindas. Contohnya adalah aku sendiri yang telah menikmati dunia Kota Kembang. Siklus kaum tertindas – kaum penindas tidak akan pernah berhenti jikalau kaum penindas berbuat seenaknya. Tanya Wiji Thukul, apa gunanya punya ilmu kalau hanya untuk mengibuli?!

Menarik memang, argumentasi dimensi,

Di sela – sela keseriusan bibir yang saling berucap, kulempar dan kubuka bungkusan janji yang katanya mau mandi ke Siri Gading ketika musim hujan tiba. Ah, memang orang pelosok. Sikaaaaaaaadd!!! Tak seperti orang – orang kota yang selalu berwacana ria dengan dalil amanah di mana – mana. Elitibilitas dan eksistensi memang.

Bahasa sibuk adalah bahasa kota
Yang tak bisa diajak bicara
Bahasa sibuk adalah bahasa untung – rugi
Bahasa sibuk adalah bahasa kita
Bahasa cinta sudah kita jual
Hidup jadi serba otomatis
Sulit terharu, lupa meditasi
Wiji Thukul – Kota, Solo 1984

Kala jemariku mulai berkelitik memeluk satu sama lain membisikkan kepuasan yang tiada tara akan kenangan masa – masa ketertindasan di masa kecil, kami berjalan balik ke desa tuk menunggu lembayung senja. Kala kemudian, ku main ke tempat perancangan tangga bambu. Kreatif memang akang yang satu ini. Masih berjuang mengangkat desa dengan tangga bambu yang rapuh. Kusisipkan saran – saran dari Mbak Desy dalam perancangannya. Semoga semakin kuat dan istiqomah. Aameen!

Lembayung senja disusul gelap yang mulai turun. Kuberkumpul bersama para calon pembangun desa yang sedang keras – kerasnya idealisme mengekor di depan rumah sang janda tua. Namun sejenak dapat diredupkan dengan capsa yang dimainkan bersama. Disela – sela kata – kata hina yang membumbung tinggi, tersirat cita – cita (bukan mimpi) tuk sekedar sejenak melangkah maju.


Salam hamemayu hayuning bawana

More stories on www.hamemayu11.blogspot.co.id

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah kami, KKN Tematik ITB 2017 Tema Pendidikan!

Belajar dari Balik Bukit